Dr. Syaiful Ma'arif, SH. CN.MH Bersama Istri Bupati Bangkalan, Istri Presiden Jokowi dan Istri Mantan Gubernur Jawa Timur Soekarwo

Dmagz Indonesia –  Menjelang kontestasi Pilpres 2024, salah satu topik menarik yang sedang jadi perhatian publik adalah, sebuah Fenomena POLITIK antara Jokowi dan Megawati. Jika kita mau mencermati pertarungan ini, mesti dengan pola pikir secara rasional dan proporsional, tanpa emosional. Karena hal ini merupakan sebuah peristiwa politik, dimana politik itu sendiri merupakan sebuah seni dalam berdiplomasi dan berkompromi.

Dua sosok ini, Jokowi dan Megawati merupakan dua sosok yang dimiliki oleh PDI Perjuangan, tentu dengan konteks dan konten yang berbeda. Jokowi sebagai kader partai yang menerima mandat tugas politik dari partainya, sedangkan Megawati merupakan sosok Ketua Umum partai yang menugaskan Jokowi untuk tugas politiknya.

Dimulai sejak masa Orde Baru, dimana Soeharto berkuasa selama 32 tahun, hampir tidak ada ruang politik sedikitpun bagi keturunan Soekarno kala itu. Pra-Reformasi dan sebelum pemilu tahun 1998, memang sudah muncul banyak sekali gerakan dari berbagai kelompok yang dimotori oleh berbagai kalangan aktivis, mulai dari Mahasiwa, Buruh, Politisi, dan masyarakat umum yang terus bergerak secara masif, sebagai sebuah bentuk respon dan perlawanan kepada pemerintahan Orde Baru.

Salah satunya gerakan politik kala itu adalah, gerakan Pro-Mega dalam kubu Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Bahkan, Partai Demokrasi Indonesia (sebelum Perjuangan) akhirnya pecah menjadi dua kubu, yaitu PDI kubu Soerjadi, yang kala itu menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) yang dianggap hanya sebuah bagian dari boneka politik Orde Baru saat itu, dan kubu PDI Megawati, yang menginginkan reformasi politik, yang akhirnya muncul menjadi PDIP.

Maka ketika muncul sosok Megawati, dengan barisan Bung Karno-nya sebagai simbol perlawanan atas dominasi “pada saat itu timbul perlawanaan”, bertarunglah dia dengan Soehato dan pendukung Orde Baru.

Sosok Megawati, walaupun hanya dianggap sebagai seorang anak keturunan Soekarno, namun dalam sejarah politik Indoensia bisa membuktikan bahwa, asumsi itu tidak sepenuhnya benar. Sosok Megawati tidak hanya hadir sebagai sosok keturunan dan trah dari Soekarno saja, namun mampu menjadi sosok yang lahir dan ditempa dari banyak pertarungan politik. Sehingga tak heran jika Megawati akhirnya mampu membawa Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP-P) saat ini, menjadi salah satu partai yang dewasa, dan akhirnya mampu meraih kemenangan yang signifikan dalam kancah politik nasional.

Megawati sendiri karena memang selain sebagai keturunan Soekarno, dirasa dan dianggap mampu menjadi simbol penerus Marheinisme, yang merupakan ideologi pergerakan dan sebuah jalan politik seorang Soekarno, Bapak pendiri Bangsa. Dimana Marheinisme sendiri adalah sebuah ideologi yang menentang penindasan manusia atas manusia, dan bangsa atas bangsa.

Soerjadi, memberikan banyak perlawanan yang dilakukan oleh kubu Megawati saat itu. Perlawanan sengit terjadi didalam kubu Partai berlambang Banteng ini. Maka hal ini juga yang akhirnya menjadi sebuah alasan para Marheins untuk menjalankan perlawanan, dan dianggap relevan kala itu untuk melawan dominansi Orde baru dengan sebuah gerakan Reformasi.

Sosok Megawati melalui berbagai perlawanan dan hambatan dalam tubuh Partai Demokrasi Indonesia, pada akhirnya terpilih juga sebagai Ketua Umum versi Perjuangan. Sehingga puncaknya adalah saat terjadi Kongres Luar Biasa (KLB) PDI Perjuangan tahun 1993, saat itu di Surabaya.

Namun, tak sampai disitu saja, perlawanan yang sengit terus dilakukan dari PDI kubu Soerjadi saat itu, dan puncaknya saat Peristiwa Kudatuli pada tanggal 27 Juli 1996, 3 tahun setelahnya, dimana, kantor DPP PDI Perjuangan, di jalan Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat, diserang oleh sekelompok orang. Bahkan dari peristiwa tersebut, menurut laporan Komnas HAM, setidaknya ada 5 orang tewas, 149 orang luka, dan 23 dinyatakan hilang.