Surabaya, Dmagz.id – Keynote Speaker Wakil Jaksa Agung Republik Indonesia DR. Arminsyah. SH. MSi yang berjudul “Arah Kebijakan Kejaksaan Dalam Integrated Criminal Justice Mendatang” disampaiakan pada acara Talkshow Ikatan Alumni Universitas Airlangga Fakultas Hukum (IKA AU FH) dengan Tema “Domininus Litis Dalam Criminal Justice System : Pelu
ang dan Tantangan” di Ruang Budi Susetyo Lt. 3 Fakultas Hukum Universitas Airlangga Jl. Darmawangsa Surabaya (16/02/19)
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah Negara hukum, yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945, sehingga penegakan hukum dan keadilan merupakan salah satu syarat mutlak untuk mencapai tujuan nasional.
Sistem penegakan hukum pidana pada dasarnya merupakan sistem kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum yang diwujudkan atau diimplementasikan dalam 4 (empat) sub sistem, yakni:
- Kekuasaan penyidikan (oleh badan/lembaga penyidik)
- Kekuasaan penuntutan (oleh badan/lembaga penuntut umum)
- Kekuasaan mengadili dan menjatuhkan putusan/pidana (oleh badan pengadilan)
- Kekuasaan pelaksanaan putusan/pidana (oleh badan/aparat pelaksanaan/eksekusi)
Keempat subsistem di atas merupakan satu kesatuan sistem penegakan hukum yang integral atau dikenal dengan istilah Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integrated Criminal Justice System). Muladi menegaskan bahwa makna “integrated criminal justice system”. Sinkronisasi atau keserempakan dan keselarasan dalam sistem peradilan pidana dapat dibedakan dalam :
- Sinkronisasi stuktural (structural synchronization) adalah keserempakan dan keselarasan dalam rangka hubungan antar lembaga penegak hukum.
- Sinkronisasi substansial (substantial synchronization) adalah keserempakan dan keselarasan yang bersifat vertical dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif.
- Sinkronisasi kultural (cultural synronization) adalah keserempakan dan keselarasan dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap, dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.
Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Kejaksaan sebagai lembaga dalam pengertian wadah atau organisasi dikenal doktrin “Kejaksaan adalah satu dan tidak terbagi (een en ondel baar heid). Andi Hamzah mengatakan:
Belanda sendiri baru pada tanggal 18 April 1827 ketika berlakunya Rechterlijke Organisatie en het bleid der Justitie, diadakan lembaga penuntut umum yang berdiri sendiri mengikuti sistem perancis. Suatu asas yang terpenting dari penuntut umum yang berdiri sendiri ialah ketentuan bahwa penuntut umum itu satu dan tidak terbagikan (een en ondeelbaarheid), dan bergantung pada kekuasaan eksekutif.
Selain itu, Kejaksaan sebagai lembaga dalam pengertian proses dikenal asas atau doktrin oportunitas dan dominus litis. A.Z Abidin Farid memberikan rumusan tentang asas oportunitas sebagai asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum” Dalam perkembangannya dewasa ini, Belanda semakin luas menerapkan asas ini, mereka mengartikan asas oportunitas sebagai:
“penuntut umum boleh memutuskan untuk menuntut atau tidak menuntut dengan syarat atau tanpa syarat” (The publilc prosecutor may decide conditionally or unconditionally to take a prosecution to court or not). Kedudukan penuntut umum (Officer van Justitie) di sana sangat kuat, sehingga sering disebut sebagai semi judge (setengah hakim), karena kebebasannya secara individu untuk menuntut atau tidak menuntut.
Indonesia juga menganut asas oportunitas, akan tetapi penerapannya sangat sempit, Perwujudan asas ini dalam sistem hukum Indonesia dimuat dalam Pasal 35 huruf c Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I., yang berbunyi Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut.
Selain itu, doktrin dominus litis juga dikenal dalam pemahaman bahwa wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, artinya tiada badan lain yang boleh melakukan itu. Berbeda dengan doktrin een en oldelbaar atau kejaksaan adalah satu dan tidak terpisahkan yang melekat pada organisasi kejaksaan,akan tetapi doktrin dominus litis adalah melekat pada penuntut umum.
Doktrin dominus litis dalam perjalanannya mengalami pasang surut dalam pengaturannya. Pada masa kemerdekaan, di tahun 1947 terbit Undang-Undang Nomor: 7 Tahun 1947 tentang Susunan dan Kekuasaan Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung, yang mengatur bahwa di samping Mahkamah Agung, ada Kejaksaan Agung yang terdiri dari seorang Jaksa Agung dan beberapa Jaksa Tinggi yang kesemuanya itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Jaksa Agung mempunyai tugas mengawasi kelakuan dan perbuatan dari para Jaksa dan Polisi dalam menjalankan pengusutan atas kejahatan dan pelanggaran. Selain itu, Jaksa Agung juga berkewajiban memberikan keterangan, pertimbangan dan nasehat kepada Mahkamah Agung dalam menyelenggarakan akan berlakunya peradilan dengan seksama dan sejogya. Selanjutnya Undang-Undang Nomor: 7 Tahun 1947 diubah dengan Undang-Undang No 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kedudukan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan.