Dmagz.id (Surabaya) – Ditengah Pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini, beberapa stimulus ekonomi sudah dilakukan oleh pemerintah. Namun, bagaimana sebenarnya pandangan hukumnya akan hal tersebut. Salah satu Doktor hukum asal Surabaya, Dr. Syaiful Ma’arif, SH,. MH, memberikan analisanya. Menurut pengacara berdarah Madura ini, ada beberapa hal yang memang perlu diperhatikan dalam kasus wabah yang terjadi saat ini. Apakah hal ini termasuk dalam kategori force majeur atau tidak. Berikut ulasan Doktor alumnus Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya ini.

ATURAN-ATURAN

Beberapa landasan hukum yang terkait dengan kondisi dan penanganan menjadi patokan Pandemi Covid-19 yang terdapat dalam KUHPerdata dianataranya adalah :

  • Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (covid-19) sebagai Bencana Nasional
  • Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID 19).
  • Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020 tentang pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta

KRONOLOGIS PERKARA

Point kedua adalah bagaimana kronologi Pandemi dan respon kondisi terhadap masalah ini. Hal ini juga merujuk pada beberapa fakta yang terjadi, atau respon yang akan, dan sudah dilakukan oleh pemerintah. Bahwa terdapat penyebaran virus covid-19 yang sangat pesat dan virus covid-19 tersebut telah di deklarasi oleh WHO sebagai pandemik, karena mengalami peningkatan yang sangat pesat secara global. Dan, selanjutnya Pemerintah Indonesia menetapkan pandemi virus Corona atau COVID-19 sebagai bencana nasional melalui Keputusan Presiden No. 12/2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional.

Serta dalam beleid tersebut, penanggulangan bencana nasional yang diakibatkan oleh penyebaran COVID-19 dilaksanakan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 7/2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 9/2020 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor 7/2020 melalui sinergi antarkementerian/lembaga dan pemerintah daerah.

Selanjutnya, reaksi dan ketetapan dimana Gubernur, bupati, dan walikota sebagai Ketua GugusTugas Percepatan Penanganan COVID-19 di daerah, dalam menetapkan kebijakan di daerahnya harus memperhatikan kebijakan pemerintah pusat. Keputusan presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, yakni 13 April 2020.

Beberapa reaksi dan ketetapan selanjutnya terus berkembang seperti, Pengajuan Gubernur DKI Jakarta yang mengajukan permohonan kepada Menteri Kesehatan untuk menetapkan PSBB di wilayah DKI Jakarta dan disetujui oleh Menkes sebagaimana SK No. HK.01.07/Menkes/239/2020. Dan ketika hal tersebut disetujui, Gubernur menerbitkan Peraturan Gubernur Nomor 33 Tahun 2020 sebagai aturan pelaksana kebijakan PSBB khusus di DKI Jakarta.

Dalam kondisi sekarang,atas semua hal tersebut diatas, bahwa covid-19 sebagai bencana nasional dan kebijakan PSBB akan berdampak pada pelaksanaan perjanjian dalam berbagai sektor usaha.

Dengan segala kondisi yang ada sekarang, dan dengan beberapa prediksi kedepan dimasa yang akan dating, beberapa pertanyaann adalah

  1. pakah secara hukum wabah Covid-19 dapat dijadikan alasan sebagai force majeur untuk tidak menjalankan suatu perjanjian?
  2. Bagaimana akibat adanya keputusan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) terhadap pelaksanaan Perjanjian?

PERMASALAHAN HUKUM

Selanjutnya adalah permasalahan hukum yang ditimbukan akibat dari Pandemi Covid-19 ini. Misalnya dalam sector perjanjian bisnis adalah,tentang Covid-19 sebagai alasan force majeur untuk tidak menjalankan perjanjian. Atau, akibat dari kondisi yag terjadi yaitu, aktivitas bisnis secara global ikut menerima dampak yang sangat besar akibat merebaknya Corona Virus Disease 19 (Covid-19).

Beberapa kebijakan yang diambil oleh pemerintah dapat berdampak pada hubungan bisnis yang terganggu bahkan berimplikasi secara hukum, diperkirakan banyak usaha yang tidak dapat melaksanakan perjanjian sebagaimana mestinya, dengan kata lain akibat adanya covid-19 ini mengakibatkan tertundanya pelaksanaan perjanjian diberbagai bidang usaha misalnya perbankan, pelaksanaana perjanjian konstruksi dan  perjanjian lainya. Kondisi lainnya adalah, kegagalan memenuhi suatu perjanjian atau disebut dengan wanprestasi, dapat dibenarkan oleh hukum apabila pihak dapat membuktikan ada halangan yang tak dapat dihindari atau disebut dengan “force majeure”.

Apakah secara hukum covid-19 ini dapat dijadikan alasan sebagai force majeur untuk tidak menjalankan perjanjian? Tentu diperlukan suatu penjelasan yang berlandasan hukum. Force Majeure secara umum diatur dalam Pasal 1244 dan Pasal 1245.

Pasal 1244 KUH Perdata

“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya”.

Pasal 1245 KUH Perdata

“Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.”

Maka, berdasarkan ketentuan tersebut, maka unsur utama yang dapat menimbulkan keadaan force majeur adalah, adanya kejadian yang tidak terduga, adanya halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan, ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan debitur, ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibebankan risiko kepada debitur.

Untuk lebih objektif lagi, bahwa terkait dengan pertanyaan apakah peristiwa wabah virus corona dapat menjadi alasan force majeur untuk tidak melaksanakan kewajibannya, maka perlu diperhatikan penjelasan berikut ini.

Menurut Subekti dalam buku Pokok-pokok Hukum Perdata (hal. 150), berdasarkan teori, terdapat 2 jenis force majeur.

  1. Force Majeure absolut adalah suatu keadaan dimana sama sekali tidak mungkin (impossibility) perjanjian itu dapat dilaksanakan dan berakibat musnahnya barang yang dijanjikan.
  2. Force Majeure  relatif adalah suatu keadaan dimana terjadi keadaan-keadaan tertentu yang menyulitkan debitur debitur untuk melaksanakan kontrak. Kalaupun dilaksanakan, maka debitur harus melakukan pengorbanan tertentu yang membuat kontrak tersebut menjadi tidak praktis lagi untuk dilaksanakan (impracticability). Konsekuensinya, pelaksanaan kontrak dapat ditunda sampai keadaan tersebut berakhir.

Dari berbagai intrumen pertimbangan diatas, maka dapat dissimpulkan sebagai berikut. Untuk Covid-19 ini, kategori yang berlaku adalah difficulty (kesulitan), karena para pihak masih bisa melakukan pekerjaan, tapi sulit dilaksanakan karena takut tertular virus dan adanya kebijakan-kebijakan. Selanjutnya terkait kasus Covid-19, unsur Force Majeure telah terpenuhi yaitu :

  1. Orang tidak pernah tahu kapan ini akan terjadi (tidak terprediksi).
  2. Orang tidak memiliki contributory effect atas penyebaran wabah ini.
  3. Wabah Covid-19 memang suatu halangan di mana orang tidak bisa mengesampingkannya.

Namun, untuk covid-19 dapat menjadi alasan Force Majeure maka diperlukan landasan hukum atau regulasi yang jelas terkait hal tersebut, dan dalam keadaan ini Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (covid-19) sebagai Bencana Nasional. Yang pada pokoknya isi dari keputusan presiden tersebut adalah “Menyatakan bencana nonalam yang diakibatkan oleh penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sebagai bencana nasional”.

Dengan demikian, Keppres ini bisa menjadi dasar yang kuat untuk alasan force majeure dalam pelaksanaan perjanjian. Dan selanjutnya untuk penerapan dalam pelaksanaan suatu perjanjian apakah alasan adanya Covid-19 dapat dijadikan sebagai alasan Force majeure atau keadaan kahar adalah kembali lagi pada perjanjian secara khususnya dan atau tergantung dari definisi keadaan kahar (apabila ada) di dalam perjanjian tersebut.