Dmagz.id – Ada masalah serius saat ini yang mendesak, yang harus dibuktikan dan menjadi pekerjaan rumah besar oleh para pemangku kebijakan di negeri ini. Yaitu kasus ibu Nuril di Nusa Tenggara Barat.

Ini penting, karena ini yang sebenarnya menjadi point penting dari hiruk pikuk kontestasi Politik di negeri ini. Memberikan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jangan sampai, ada hal-hal yang sederhana seperti ini, menjadi sesuatu yang diabaikan dan menjadi bumerang dimasa depan.

Sekali lagi, sejarah Demokrasi kita diuji dengan sebuah kasus yang menggelikan, sekaligus ini adalah ujian bagi para penegak hukum di negeri ini. Kasus ibu Nuril, menjadi komoditas nasional karena ada ketidakadilan yang terjadi. Bagaimana tidak, seorang perempuan calon korban pelecehan seksual menjadi tersangka dan dipenjara. Ini sangat diluar batas logika. Jika ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin ini akan jadi sebuah prestasi buruk peradilan bangsa ini.

Kasus ini mencuat ke khalayak umum, setelah pengacara nyentrik Hotman Paris Hutapea bersedia membantu dan mengawal ibu Nuril menjalani proses hukumnya.

Presiden Jokowi, disebuah wawancara televisi akhirnya juga angkat suara tentang hal ini. Karena memang karena ranahnya adalah hukum, maka presiden dalam hal ini Jokowi, tidak bisa masuk terlalu jauh karena dikhawatirkan muncul kesan intervensi hukum. Walaupun, secara tegas dikesempatan lain, Mahfud MD sebenarnya sudah pernah memberikan pandangan hukum tentang hal ini, saat terjadi sebuah kasus pembegalan di Bekasi yang menewaskan pembegal. Tapi, korban justru menjadi tersangka penganiayaan. Bahwa sah-sah saja, “intervensi” hukum dilakukan oleh presiden untuk tujuan memberikan sebuah rasa keadilan, tentunya dengan mekanisme hukum yang ada.

Jokowi menyarankan kepada kuasa hukum ibu Nuril, untuk melakukan upaya hukum lanjutan yaitu Peninjauan Kembali (PK).
Dan, harapan Jokowi adalah Mahkamah Agung akan memberikan putusan yang adil. Tapi jika dalam hal ini, ibu Nuril masih belum juga mendapatkan keadilan dalam proses hukumnya, maka saran presiden Jokowi adalah pengajuan grasi kepada presiden.

“Saya sangat mendukung ibu Nuril mencari keadilan, dan seandainya, ini seandainya ya, jika PK-nya masih belum mendapatkan keadilan, bisa mengajukan grasi ke presdien. Memang tahapannya seperti itu, kalau sudah ngajukan grasi ke presiden, nah itu nanti bagian saya.” Jelas presiden Jokowi.

Foto : Presiden Republik Indonesia Joko Widodo

Kedua kasus ini, memiliki kemiripan dalam hal posisi korban. Apalagi dalam kasus ibu Nuril sebenarnya terbukti bahwa ternyata memang bukan ibu Nuril bukan orang yang menyebarkan informasi elektronik seperti yang dituduhkan. Tapi, sebagai orang yang memiliki informasi tentang sebuah skandal dan dirinya menjadi “calon korban” selanjutnya. Tindakan ibu Nuril adalah sebuah upaya defensif agar apa yang dia takutkan, tak terjadi pada dirinya. Itu pointnya.

Pada banyak kasus, perempuan memang selalu jadi objek kekerasan fisik atau seksual, hal ini harus juga menjadi perhatian pemerintah kedepannya, agar tidak ada diskriminasi gender yang bisa merusak cita-cita demokrasi kedepannya. Tentunya, secara objektif dan proporsional.

Seperti yang sudah beredar luas, bahwa di Nusa Tenggara Barat ada kasus unik, tentang korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh Muslim, oknum kepala sekolah Sekolah Menengah Atas (SMA), kepada salah satu mantan guru honorer, yang menyebabkan tersebarnya rekaman “mesum”, hingga menyeret nama ibu Nuril sebagai pesakitan. Vonis hukum kepada ibu Nuril adalah pelanggaran Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Pasal 27 Ayat 1, yaitu pelanggaran UU ITE yang dituduhkan kepada ibu Nuril Maknun adalah tersebarnya rekaman telepon mesum Muslim, Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram saat itu.

Vonis kepada ibu Nuril berasal dari putusan kasasi Nomor 574 K/PID.SUS/2018 bertanggal 26 September 2018 yang membatalkan Putusan Pengadilan Negeri (PN) Mataram Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN. MTR tanggal 26 Juli 2017.

Sedangkan Ketua Komnas Perempuan, Azriana Manalu menyanyangkan atas vonis kepada ibu Nuril. Ia juga memberikan pandangannya bahwa kasus ini terjadi karena minimnya perlindungan pada korban (ibu Nuril). Sedangkan pelaku (Muslim) berada dalam posisi perlindungan penuh secara sistem hukumnya.

“Dia (pelaku) berada dalam sistem hukum yang penuh perlindungan untuk dia. Ini harusnya jadi pertimbangan hakim karena fakta kekerasan seksual yang dialami Nuril sudah muncul di dalam persidangan tahap pertama. Tapi itu semua gak dipertimbangkan di MA. Itu yang kami sayangkan,” ujarnya.

LK-Surabaya.