Dmagz.id (Surabaya) – Semua bangsa di semua negara, tengah sibuk mencari jalan keluar dari sergapan wabah Covid-19. Semangatnya sama : berhadap-hadapan secara langsung dengan virus yang awal kemunculannya, kini kembali diperdebatkan. Corona dianggap musuh nyata, sehingga pendekatan yang digunakan adalah “senjata” yang sifatnya face to face, konfrontatif.
Banyak keputusan diambil sifatnya reaktif, sementara cara pandang tentang Corona belum sepenuhnya sesuai kenyataan. Yang penting lawan, babat habis, tumpas dan enyahkan. Bak melawan hantu, kita hanya mampu membayangkan sosoknya, sesuai sudut pandang dan kebiasaan masing-masing bangsa. Tidak ada yang dengan tepat dapat memastikan bagaimana figuritas Corona.
Tentu saja, banyak kesimpulan terkait Corona jadi sumir. Meyakini Corona sebagai musuh kasat mata adalah kesalahan pertama dan fatal yang terjadi di banyak negara. Padahal, virus ini tidak “nyata”, dalam artian ; hingga kini belum ada ahli virus, mikrobiologi, epidemiologi, kesehatan dan kedokteran yang berhasil mendefinisikan makhluk ini secara tepat dan benar. Tak gampang kita membidiknya.
PERUBAHAN PARADIGMA
Ia lihai. Bermutasi dengan cepat sebelum sempat terdeteksi. Terbukti, setelah sekian bulan energi banyak terkuras menghadapi Corona, kini paradigma yang disepakati dalam mengatasi dan menanggulangi persebarannya, mulai bergeser. Berubah dari hard ke soft approach. Corona tak lagi diposisikan sebagai musuh yang dihadapi secara face to face. Meyakini bisa menumpasnya dalam waktu pendek, hanya ilusi.
Dalam beberapa bulan terakhir, manusia menghabiskan banyak modalitas hanya untuk mengatasi akibat yang ditimbulkan Corona. Semua anggaran pemerintah di semua negara, prioritasnya dialihkan untuk pengadaan obat, penyiapan tenaga medis, rumah sakit dan segala sumber dayanya, atau penguburan ratusan ribu mayat. Kehidupan diserang jantungnya. Resesi ekonomi jadi ancaman paling nyata. Jutaan orang sudah di-rumah-kan. Bahaya gejolak rakyat membayang di pelupuk mata.
Dalam pada itu, mencari negara tertentu untuk dijadikan standar dan contoh dalam menyelesaikan wabah ini, tidak mudah. Awalnya Cina dan Korea Selatan disebut negara yang sudah berada di track yang benar. Namun dalam perkembangan terakhir diketahui, keduanya justeru tengah dihantui kecemasan massif akan kemungkinan datangnya gelombang kedua. Kekuatiran menghantui semua negara dan semua bangsa.
Celah ini yang membuat Badan Kesehatan Dunia (WHO) memprediksi, Covid-19 tidak akan sepenuhnya bisa dihilangkan. Ia akan menetap. Mengambil locus tertentu di negara-negara dengan lingkungan yang tidak sama. Ia akan beradaptasi dengan kondisi alam tropis dan alam subtropis. Ia bisa memapari orang-orang di Amerika, semudah ia menyerang bangsa Eropa, Afrika, Australia dan Asia.
TIGA SITUASI
Mencermati situasi ini, pertama : mari berikan waktu dan anggaran seluas-luasnya kepada para ahli, berkonsentrasi membuat, bukan hanya menemukan, vaksin untuk melumpuhkan Corona. Semua mesti borkontribusi, menciptakan iklim yang kondusif. Taruh di belakang semua isu kecuali langkah mengakselerasi terciptanya vaksin. Berdayakan dan percayai badan-badan kesehatan untuk menjalani perannya.
Karena tak ada kepastian kapan vaksin selesai dibuat dan ampuh mengatasinya, maka virus ini akan mengepakkan sayap-sayap mautnya dengan bebas ke seluruh permukaan bumi. Tidak banyak yang bisa mengelak. Semua orang tinggal menunggu waktu dan gilirannya. Jika sudah tercipta situasi.
Kedua : Herd Immunity, virus perlahan tak akan banyak mengintimidasi manusia. Sudah barang pasti, pertaruhannya akan sangat menyakitkan. Akan tetapi, herd immunity mungkin hanya bisa dicapai lewat vaksinasi. Sejumlah ilmuwan mengklaim bahwa bila ada cukup banyak orang yang memiliki antibodi, virus dapat menghilang, dengan asumsi bahwa antibodi yang dimiliki memang benar-benar menimbulkan kekebalan. Herd immunity diyakini, dapat terjadi bila sekitar 65 persen hingga 75 persen dari populasi telah terinfeksi.
Diprediksi jutaan nyawa akan melayang sebagai konsekuensi logis dari terciptanya herd immunity. Memang terasa tidak adil, tetapi bila kondisi tidak berubah dan cara pandang manusia tidak beranjak, maka itulah resiko terburuk yang sudah menunggu di gerbang-gerbang kompleks pekuburan. Kini saatnya masyakat berkawan dengan Corona. Dengan segala resikonya. Bukankah cuma kawan yang paling paham kelemahan/kelebihan kawannya ?